Penyakit rabies mengakibatkan terjadinya infeksi pada susunan saraf pusat akibat virus dalam genus Lyssavirus dan keluarga Rhabdoviridae melalui kontak langsung dengan air liur atau cakaran hewan yang terinfeksi virus tersebut. Meskipun prevalensi rabies cukup rendah, namun dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini bisa menimbulkan kematian pada penderitanya. Kewaspadaan terhadap virus rabies pada anjing atau hewan peliharaan merupakan respon yang tidak boleh disepelekan. Manusia harus memiliki pengetahuan dan sikap untuk menghadapi maraknya kasus rabies. Dunia kesehatan menetapkan rabies sebagai penyakit yang berbahaya dan mengancam jiwa penderitanya. Oleh karena itu, penyakit rabies ditetapkan sebagai penyakit prioritas dalam lingkup penularan dari hewan ke manusia di negara Indonesia.
Sumber penyakit rabies pada manusia umumnya berasal dari anjing dan kucing, karena hewan tersebut yang berdekatan dengan lingkungan bahkan hewan tersebut dipelihara dalam rumah. Virus rabies menular ke manusia dan hewan melalui air liur, biasanya melalui gigitan, cakaran, atau kontak langsung dengan mukosa (misalnya mata, mulut, atau luka terbuka). Penularan rabies bisa melalui penghirupan aerosol yang mengandung virus, konsumsi daging mentah atau susu dari hewan yang terinfeksi, atau melalui transplantasi organ namun sangat jarang terjadi.
Berikut beberapa hewan yang beresiko menularkan virus rabies kepada manusia :
- Anjing
- Kucing
- Kelinci
- Kuda
- Kelelawar
- Monyet
- Musang
- Rakun
Gejala rabies umumnya muncul 3 hingga 12 minggu setelah kontak dengan hewan terinfeksi, namun bisa juga muncul dalam hitungan tahun. Gejala-gejala yang dialami manusia yang terpapar virus rabies yaitu :
- Gejala awal yang mirip flu, seperti demam, pusing, dan badan lemas.
- Rasa tidak nyaman, kesemutan, atau gatal di lokasi gigitan.
- Perubahan perilaku, seperti kecemasan, agitasi, kebingungan, dan insomnia.
- Takut air (hidrofobia), takut cahaya (fotofobia), dan aerofobia.
- Air liur berlebihan (hipersalivasi).
- Gerakan sempoyongan, kejang, hingga lumpuh.
- Mulut berbusa.
- Penurunan nafsu makan.
- Sakit kepala, tenggorokan, mual, dan muntah.
Saat ini belum ada alat diagnostik yang disetujui WHO untuk mendeteksi infeksi rabies sebelum timbulnya penyakit klinis. Diagnosis klinis rabies sulit dilakukan tanpa riwayat kontak yang dapat dipercaya dengan hewan rabies atau gejala spesifik hidrofobia atau aerofobia. Meskipun vaksin rabies dan imunoglobulin untuk manusia sudah tersedia, namun hal ini seringkali tidak dapat diakses atau terjangkau oleh mereka yang membutuhkan.