Apakah yang anda ketahui tentang pemeriksaan audiometri?
Audiometri merupakan pemeriksaan yang biasa dilakukan oleh dokter THT (telinga, hidung, tenggorokan) untuk menentukan ambang batas pendengaran seseorang dan mendeteksi jenis gangguan pendengaran apabila ada dengan menggunakan suatu alat yang bernama audiometer. Hasil audiometri akan digambarkan pada grafik yang disebut audiogram.
Pada gambar di atas terlihat seorang lansia mengenakan headphone dan memencet tombol di sebuah ruangan kedap suara, sementara sang dokter berada di ruangan lain, melihat komputer. Seperti inilah kira-kira gambaran pemeriksaan audiometri.
Ruangan kedap suara adalah ruangan dengan kemampuan menghalangi keluarnya suara dari ruangan tersebut atau masuknya suara ke dalam ruangan tersebut, sehingga jika kita berteriak dari dalam ruang kedap suara, suara yang kita keluarkan tidak akan terdengar dari luar ruangan dan kita sendiri tidak akan mendengar suara kita bergema dalam ruangan. Kita dapat membuat sebuah ruangan menjadi ruang kedap suara dengan cara melapisi seluruh permukaan ruangan dengan karpet atau dengan acoustic tile (lantai akustik) dan acoustic ceiling serta melengkapi ruangan dengan pintu khusus bernama acoustic door. Jendela harus dipakaikan kaca yang tebal di ruangan kedap suara. Pada gambar di atas, kita mendapati ruangan yang dilapisi oleh acoustic tile berwarna putih. Tentu saja untuk menciptakan ruangan kedap suara atau membelinya membutuhkan biaya. Lalu, seberapa perlukah menggunakan ruangan kedap suara?
Menurut panduan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah sejumlah negara seperti Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat, untuk melakukan pemeriksaan audiometri tidak harus menggunakan ruangan kedap suara. Hasil yang didapat jelas akan lebih bagus jika menggunakan ruangan kedap suara, namun tempat dengan keadaan sunyi dan kebisingan yang tidak lebih dari 40 desibel dapat dijadikan tempat pemeriksaan audiometri. Kebisingan ruangan dapat diukur dengan Sound Level Meter, sebuah alat seukuran genggaman tangan yang dilengkapi dengan mikrofon, yang dapat mendeteksi kebisingan di suatu ruangan.
Meskipun dapat dilakukan di ruangan yang tingkat kebisingannya tidak lebih dari 40 desibel, rasanya agak sulit untuk mendapat kriteria ruangan seperti itu. Contoh kondisi yang memiliki tingkat kebisingan 40 desibel adalah kondisi sebuah ruangan yang sangat sepi, yang mungkin sangat sulit didapatkan pada pusat pelayanan kesehatan, apalagi dengan ruangan berjendela. Ada banyak hal yang dapat memengaruhi kebisingan suatu ruangan, termasuk di antaranya ventilasi dan pencahayaan. Lampu ternyata bisa menjadi sumber kebisingan yang jarang sekali diperhitungkan.
Oleh karena itu, penggunaan ruang kedap suara sepertinya lebih unggul dibanding penggunaan ruang biasa, terlebih lagi apabila ruangan kedap suara tersebut sudah berupa bilik berkapasitas satu atau dua orang (audiometric chamber) karena semua faktor yang dapat menimbulkan kebisingan pasti sudah diperhitungkan sehingga kondisi di dalamnya ideal untuk pelaksanaan tes audiometri. Audiometric chamber bervariasi ukurannya, ada yang bisa menampung satu orang bahkan beberapa orang. Audiometric chamber yang sederhana hanya mampu menampung satu orang. Tapi, sepertinya audiometric chamber yang sederhana inilah yang sering digunakan. Mengapa?
Pada pemeriksaan audiometri, pemeriksa harus memberikan suara dalam berbagai frekuensi dan desibel kepada pasien, sementara pasien harus menekan tombol apabila mampu mendengar suara yang diberikan. Hal ini mengharuskan pemeriksa untuk mengoperasikan sejumlah tombol yang ada pada audiometer. Apabila pasien ditempatkan dalam satu ruangan bersama pemeriksa, pemeriksa akan kesulitan untuk “menyembunyikan” apa yang dilakukannya, misalnya pasien harusnya tidak bisa mendengar satu suara, namun karena ia melihat pemeriksa menekan tombol pada audiometer, ia dapat menekan tombol sebagai tanda bahwa ia mendengar suara tersebut, padahal tidak. Hal ini tentu akan menimbulkan bias dalam pemeriksaan audiometri. Jika anda berpikir bahwa solusinya adalah meminta pasien membelakangi pemeriksa, jawaban anda kurang tepat, karena pemeriksa harus dapat menyaksikan ekspresi pasien saat tes berlangsung. Pemeriksa harus dapat melihat wajah pasien untuk mengetahui apakah pasien kebingungan untuk merespon atau tidak. Jadi, banyak pemeriksa yang lebih suka untuk berada di luar audiometric chamber agar lebih leluasa mengoperasikan audiometer dan lebih nyaman mengamati wajah pasien.
Jadi, penggunaan ruang kedap suara pada pemeriksaan audiometri sebenarnya tidak diwajibkan, karena pemeriksaan audiometri sesungguhnya dapat dilakukan pada ruangan yang tingkat kebisingannya tidak melebihi 40 desibel. Namun, penggunaan ruang kedap suara tentu saja memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan menggunakan ruangan biasa, seperti tingkat kebisingan yang sudah diperhitungkan dan lebih terkontrol, juga keleluasaan mengoperasikan alat dan mengamati wajah pasien, terutama apabila menggunakan audiometric chamber yang bermuatan satu orang saja. (ad)
Referensi:
https://www.osha.gov/pls/oshaweb/owadisp.show_document?p_table=STANDARDS&p_id=9739
https://www.tkontheweb.com/documents/support/Permissible%20Background%20Noise%20Level.pdf
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/511/gdlhub-gdl-s1-2013-irawanfebr-25517-14.-bab–a.pdf
http://audiometry.sydneyinstitute.wikispaces.net/assessmentofhearing